Daya kreatif dan
inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak
cipta terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan
menindak para pelakunya.
Negara melalui aparat penegak hukum,
baik secara langsung maupun tidak langsung harus bertanggung jawab
dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan
penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. Apabila tidak ada
penegakan hukum yang konsisten terhadap para pelanggar, maka akan sulit
terwujudnya suatu perlindungan hukum terhadap hak cipta yang baik.
Masalah
ini telah menjadi tuntutan masyarakat internasional terhadap bangsa dan
negara Indonesia yang dinilai masih rendah untuk menghargai
HAKI.Pengaturan standar minimum perlindungan hukum atas ciptaan-ciptaan,
hak-hak pencipta dan jangka waktu perlindungan dalam Konvensi Bern
adalah sebagai berikut. Pertama, ciptaan yang dilindungi adalah semua
ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni dalam bentuk apa pun
perwujudannya. Kedua, kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi,
pembatasan atau pengecualian yang tergolong sebagai hak-hak ekslusif
seperti: (a) hak untuk menerjemahkan, (b) hak mempertun-jukkan di muka
umum ciptaan drama musik dan ciptaan musik, (c) hak mendeklamasikan di
muka umum suatu ciptaan sastra, (d) hak penyiaran, (e) hak membuat
reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apa pun, (f) hak
menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk ciptaan, dan (g) hak membuat
aransemen dan adapsi dari suatu ciptaan.Selain hak-hak ekslusif di atas,
Konvensi Bern juga mengatur sekumpulan hak yang dinamakan dengan
hak-hak moral (moral rights).
Hak moral adalah hak pencipta untuk
mengklaim sebagai pencipta atas suatu hasil ciptaan dan hak pencipta
untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap setiap perbuatan yang
bermaksud untuk mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaan,
yang akan dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta pertama.Hak
moral seorang pencipta menurut pendapat A. Komen dan D.WS Verkade
mengandung empat makna. Pertama, hak untuk melakukan atau tidak
melakukan pengumuman ciptaannya. Kedua, hak untuk melakukan
perubahan-perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya, dan hak untuk
menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan kepada publik.
Ketiga, hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas
ciptaannya oleh pihak lain. Keempat, hak untuk mencantum-kan nama
pencipta, hak untuk tidak menyetujui setiap perubahan atas nama pencipta
yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai pihak pencipta
setiap waktu yang diinginkan. Hak ini mempunyai kedudukan sejajar
dengan hak ekonomi yang dapat dimiliki seorang pencipta atas suatu hasil
ciptaannya.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur dalam
undang-undang untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta oleh
orang-orang yang tidak berhak. Apabila terjadi pelanggaran, maka
pelang-garan itu harus diproses secara hukum, dan bilamana terbukti
melakukan pelanggaran akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan
undang-undang hak cipta. UU No. 19 Tahun 2002 mengatur jenis-jenis
perbuatan pelanggaran dan ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun
pidana. UU ini memuat sistem deklaratif (first to use system), yaitu
perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemegang/pemakai pertama atas
hak cipta. Apabila ada pihak lain yang mengaku sebagai pihak yang berhak
atas hak cipta, maka pemegang/pemakai pertama harus membuktikan bahwa
dia sebagai pemegang pemakai pertama yang berhak atas hasil ciptaan
tersebut. Sistem deklaratif ini tidak mengharus-kan pendaftaran hak
cipta, namun pendaftaran pada pihak yang berwenang (cq Ditjen Hak
Kekayaan Intelektual Depkeh RI) merupakan bentuk perlindungan yang dapat
memberikan kepastian hukum atas suatu hak cipta.
Apakah suatu
perbuatan merupakan pelanggaran hak cipta, harus dapat dipenuhi
unsur-unsur yang penting berikut ini. Pertama, larangan undang-undang.
Perbuatan yang dilakukan oleh seorang pengguna hak cipta dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Kedua, izin dan persetujuan
(lisensi). Penggunaan hak cipta dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik
atau pemegang izin hak cipta. Ketiga, pembatasan undang-undang.
Penggunaan hak cipta tidak melampaui pada batas-batas ketentuan yang
telah ditetapkan undang-undang. Keempat, jangka waktu. Penggunaan hak
cipta dilakukan dalam jangka waktu perlindungan tertentu yang telah
ditetapkan oleh undang-undang atau berdasarkan pernjanjian tertulis
(lisensi).Perlindungan hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem
hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem berikut. Pertama, subyek
perlindungan. Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang
hak cipta, aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar
hukum. Kedua, obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis
hak cipta yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, pendaftaran
perlindungan. Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan
dibuktikan pula dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila
undang-undang mengatur lain. Keempat, jangka waktu. Jangka waktu adalah
adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak cipta, yakni selama
hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelima,
tindakan hukum perlindungan. Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak
cipta, maka pelanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun pidana.
Setiap
pelanggaran hak cipta akan merugikan pemilik/pemegangnya dan/atau
kepentingan umum/negara. Pelaku pelanggaran hukum tersebut harus
ditindak tegas dan segera memulihkan kerugian yang diderita oleh
pemilik/pemegang hak atau negara. Penindakan atau pemulihan tersebut
diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002. Penindakan dan pemulihan pelanggaran
hak cipta melalui penegakan hukum secara (1) perdata berupa gugatan (a)
ganti kerugian, (b) penghentian perbuatan pelanggaran, (c) penyitaan
barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan. (2) pidana berupa tuntutan
(a) pidana penjara maksimal 7 tahun penjara, dan atau (b) pidana denda
maksimum sebesar Rp. 5 miliar, (c) perampasan barang yang digunakan
melakukan kejahatan untuk dimusnahkan, (3) administratif berupa tindakan
(a) pembekuan/pencabutan SIUP, (b) pembayaran pajak/bea masuk yang
tidak dilunasi, (c) re-ekspor barang-barang hasil pelanggaran.Selama
ini, pelanggaran hak cipta termasuk dalam delik aduan (klachtdefict).
Artinya, penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bersama
instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana dapat dilakukan oleh
penuntut umum atas dasar pengaduan dari plhak-pihak yang dirugikan, baik
para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai konsumen ataupun
negara sebagai penenima pajak. Delik aduan ini adalah dalam bentuk
delik aduan mutlak (absolute klachidelict), yakni peristiwa pidana yang
hanya dapat dituntut bila ada pengaduan. Berlakunya UU No. 19 Tahun
2002, pelanggaran hak cipta menjadi delik biasa yang dapat diancam
pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Adanya perubahan ini sebagai
upaya pemerintah mengajak masyarakat untuk menghargai dan menghormati
HKI mengingat masalah pelanggaran hak cipta telah menjadi bisnis ilegal
yang merugikan para pencipta dan pemasukan pajak/devisa negara di
samping masyarakat internasional menuding Indonesia sebagai “surga”bagi
para pembajak.Aparat penyidik dalam pelanggaran hak cipta ditentukan
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 dan peraturan perundang-undangan lain.
Dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 8 Tahun 1981 tercantum dua penyidik yakni
pejabat polisi negara Republik Indonesia dan atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu. Mereka bertugas bersama aparat negara tertentu yang
diberi kewenangan oleh undang-undang. Untuk menyelidiki apakah sudah
terjadi suatu pelanggaran hak cipta, maka Pasal 71 UU No. 19 Tahun 2002
mengatur tentang penyidik yang dapat melakukan penegakan hukum.
Menurut
ketentuan pasal tersebut, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan Departemen Kehakiman Republik Indonesia dapat diberikan
wewenang khusus sebagai penyidik seperti dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat 1
b UU No. 8 Tahun 1981, yakni “pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk bertugas melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta. Mereka ini dapat bertugas
sebagai pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan wewenang
tertentu.Penyidik dalam Pasal 71 ayat (2) mempunyai wewenang melakukan
tindakan berupa (a) pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak cipta, (b) pemeriksaan
terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang hak cipta, (c) meminta keterangan dari pihak atau badan hukum
sehubungan tindak pidana di bidang hak cipta, (d) pemeriksaan atas
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
di bidang hak cipta, (e) pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lainnya, (f)
melakukan penyitaan bersama pihak kepolisian terhadap bahan dan barang
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana
di bidang hak cipta, dan (g) meminta bantuan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindakpidana di bidang hak cipta.
Penyidikan
oleh PPNS dilakukan setelah ada surat perintah tugas penyidikan, yaitu
untuk PPNS pada (1) tingkat kantor wilayah, surat perintah diberikan
oleh Kepala Departemen Kehakiman setempat. Kewenangan tugas PPNS tingkat
kantor wilayah hanya meliputi wilayah hukum kantor bersangkutan, dan
(2) tingkat Direktorat Hak Cipta (nasional), surat perintah diberikan
pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Kewenangan
tugas penyidik tingkat ini meliputi seluruh wilayah Indonesia.Pembagian
tugas ini seyogianya dapat mempercepat penanggulangan pelanggaran hak
cipta mengingat era globalisasi dengan teknologi semakin canggih, maka
dunia saat ini tanpa ada tapal batas yang jelas (borderless world).
Selama ini, teknologi baru dengan mudah masuk ke Indonesia tanpa mampu
dilakukan tindakan filterisasi dengan ketat oleh pemerintah.
Pemanfaatan
teknologi informasi seperti intemet menjadi salah satu medium bagi para
pelaku kejahatan untuk melakukan pelanggaran hak cipta dengan sifatnya
yang mondial, internasional dan melampaui batas atau kedaulatan suatu
negara. Cross boundary countries kini menjadi motif yang menarik para
penjahat digital.Dalam melaksanakan tugasnya, PPNS mempunyai kewajiban
dalam empat hal, yaitu (1) memberitahukan kepada Penuntut Umum dan
Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang dimulainya penyidikan; (2)
memberitahukan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang
perkembangan penyidikan yang dilakukan; (3) meminta petunjuk dan bantuan
penyidikan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan
kebutuhan, dan (4) memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik
Pejabat Polisi Negara apabila penyidikan akan dihentikan karena alasan
tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Keempat kewajiban dari PPNS itu
saling terkait dan terukur dalam rangka untuk mengungkapkan suatu
pelanggaran hak cipta di tanah air.Semua kewajiban di atas bagi PPNS
menjadi dasar untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penegakan
hukum terhadap setiap pelanggaran hak cipta. Akan tetapi PPNS tidak
diberi kewajiban atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau
penahanan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW.
07. 03 Tahun 1988. Tujuannya adalah agar tugas PPNS tidak tumpang
tindih dengan tugas penegak hukum kepolisian dalam rangka penyidikan
pelanggaran hak cipta.Penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh PPNS
wajib didasar-kan pada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri di tempat
terjadinya tindak pidana atau di tempat yang banyak ditemukan barang
bukti pelanggaran hak cipta.
Permohonan surat izin penyitaan
harus diketahui oleh Kepala Kantor Departemen Kehakiman setempat dan
tembusannya dikirimkan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara.Berdasarkan
ketentuan UU No. 19 Tahun 2002, Penyidik Pejabat Polisi Negara dalam
penyidikan hak cipta lebih diutamakan atau dikedepankan pada penegakan
hukum hak cipta, sedangkan PPNS mempunyai kewenangan menyidik hanya
karena lingkup tugas serta tanggung jawabnya meliputi pada pembinaan
terhadap hak cipta. Oleh karena itu, penyampaian hasil penyidikan oleh
Penyidik Pelanggaran Hak Cipta kepada Penuntut Umum setelah memperoleh
petunjuk yang diperlukan harus melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara
sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981.Perlu diingat,
walaupun mempunyai kewenangan menyidik dan menyita barang bukti, PPNS
tidak boleh melakukan penangkapan dan/atau penahanan, kecuali tertangkap
tangan (caught in the act). Dalam hal ini, PPNS boleh menangkap
tersangka tanpa surat perintah selama 1 (satu) hari dan segera
menyerahkannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara yang lebih
berwenang. Ketentuan demikian harus ditaati penyidik PPNS dalam
pekedaannya mengusut pelanggaran hak cipta supaya tidak ada tuduhan
“pelanggaran hak asasi manusia” pada hak milik seseorang.
Pelanggaran
hak cipta tidak semata-mata menonjolkan pada hak perdata pencipta saja,
juga pada kepentingan umum dan hak hak asasi orang yang dituduh telah
melakukan pelanggaran hukum terhadap hak cipta.Adanya peristiwa
pelanggaran hak cipta merupakan realitas sosial yang menjadi masalah
bagi hukum perdata, pidana dan administrasi. Pelanggaran hukum ini
menjadi tugas aparat penegak hukum menanggulanginya bekerja sama dengan
instansi terkait mengingat setiap pelanggaran hak cipta membawa kerugian
yang sangat besar dalam pengembangan dan kemajuan i1mu pengetahuan,
teknologi, seni dan sastra dan secara ekonomis bagi para pencipta,
pemegang ijin, masyarakat konsumen dan pendapatan pajak negara.Pemberian
sanksi hukum bagi para pelanggar hak cipta merupakan upaya untuk
mencegah dan mengurangi meningkatnya kasus-kasus pelanggaran atas HKI,
terutama di Indonesia masih membutuhkan peningkatan apresiasi masyarakat
terhadap HKI. Perbuatan menjiplak, mengkopi, meniru ataupun
meng-gelapkan hasil karya orang lain tanpa izin atau sesuai prosedur
hukum akan tetap menjadi “pekerjaan rumah” dari petugas penegak hukum
dalam melindungi hak-hak para pencipta yang diatur dalam UU Hak Cipta.
Akibat
pelanggaran itu, selain merugikan kepentingan para pencipta atau
pemegang izin, juga masyarakat konsumen dan negara dalam penerimaan
pajak/devisa.Pelanggaran hak cipta dapat dikategorikan sebagai kejahatan
ekonomi (economic crime) dan kejahatan bisnis (business crime). Di sini
amat dibutuhkan fungsionalisasi hukum pidana, yakni upaya untuk membuat
hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud
secara konkret yang melibatkan tiga faktor, yaitu faktor
perundang-undangan, aparat/badan penegak hukum dan kesadaran hukum
masyarakat. Fungsionalisasi hukum pidana didasarkan pada tujuan ekonomi
dan penegakan hukum, yakni untuk mengurangi seminimal mungkin biaya
sosial (social cost) yang merugikan bagi para korban akibat dari
pelanggaran hukum tersebut. Robert Cooter dan Thomas Ulen menegaskan
dengan ungkapan, criminal law should minimize the social cost of crime,
which equals the sum of the harm it causes and the costs of preventing
it. Artinya, hukum pidana harus membayar biaya sosial kejahatan minimal
sama jumlahnya dari pelanggaran yang disebabkan pelanggaran itu dan
biaya pencegahannya.Biaya sosial yang harus dikeluarkan dalam rangka
fungsionalisasi hukum atas setiap pelanggaran hak cipta dapat
berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap makna perlindungan hukum mana
kala penegakan hukum vang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak
mencapai sasarannya untuk mengurangi kuantitas dan kualitas pelanggaran
hukum terhadap hak cipta. Biaya sosial tersebut terutama akan dirasakan
oleh para pencipta, karena merasakan tidak terlindungi hak-haknya
sebagai penemu atau pencipta. Hal ini akan merugikan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, seni dan sastra karena para pencipta tidak bergairah
lagi untuk meningkatkan karya ciptanya.
Sumber : http://justedebora.blogspot.com/2008/08/dampak-pelanggaran-hak-cipta.html